Jaudice merupakan salah
satu dari banyak kondisi yang membutuhkan perhatian medis pada bayi baru lahir.
Jaundice merupakan istilah untuk
pigmentasi kuning pada kulit dan sklera (bagian putih pada mata) yang
disebabkan oleh akumulasi bilirubin di
kulit dan membran mukosa. Jaundice disebabkan oleh peningkatan kadar bilirubin
tubuh, yang kita ketahui dengan istilah hiperbilirubinaemia.
Bilirubin merupakan hasil
produk utama dari pemecahan sel darah merah. Sel darah merah yang hancur
menghasilkan unconjugated (“indirect / tidak langsung”) bilirubin yang
berikatan paling banyak dengan albumin didalam sirkulasi dan sebagian kecil
dalam ikatan bebas yang dapat mencapai otak. unconjugated bilirubin
dimetabolismekan di dalam hati untuk menghasilkan conjugated (“direct /
langsung”) bilirubin yang selanjutnya dapat di buang kedalam saluran pencernaan
dan paling banyak dikeluarkan bersama feses.
Pada bayi dengan usia
< 1bulan (Newborn), unconjugated bilirubin dapat menembus membran (selaput)
yang terletak antara otak dan darah (sawar darah-otak /“the blood–brain barrier”). unconjugated bilirubin memiliki
potensi racun terhadap jaringan saraf (otak dan spinal cord). Masuknya
unconjugated bilirubin kedalam otak dapat menyababkan disfungsi neurologi
(bilirubin encephalopathy) jangka pendek dan panjang. Istilah kernicterus
digunakan untuk menunjukan adanya tanda-tanda klinis bilirubin encephalopathy
yang bersifat akut atau kronis .Resiko kernicterus meningkat pada bayi dengan
tingkat bilirubin yang tinggi. Kernicterus juga diketahui terjadi pada kadar
bilirubin yang rendah pada bayi cukup bulan (term) dengan faktor resiko, dan
pada bayi prematur.
Konsep Dasar Kuning
Pada Bayi
Hiperbilirubinemia Fisiologis
Seluruh bayi baru
lahir mengalami beberapa peningkatan unconjugated bilirubin, dibandingkan
dengan kadar bilirubin normal pada orang dewasa (1,5 mg=dl; 26 mmol=L).
Peningkatan kadar unconjugated bilirubin diakibatkan oleh kombinasi dari
peningkatan produksi bilirubin dari pemecahan heme, penurunan penyerapan oleh
hati dan konjugasi bilirubin, dan peningkatan reabsorpsi bilirubin. Dalam
minggu pertama kehidupan, perbandingan signifikan dari seluruh bayi baru lahir
memiliki total serum kosentrasi bilirubin lebih dari 5.0mg=dL (86
mmol=L);sehingga mungkin sekali menyebabkan bayi terlihat jaundice. Data
menunjukan kira-kira 40% dari bayi sehat memiliki total serum kosentrasi
bilirubin 5mg=dl pada usia 24 jam dan 7 mg=dl (120 mmol=L) pada usia 36 jam.
peningkatan serum normal pada unconjugated bilirubin di sebut
“hiperbilirubinemia fisiologis pada bayi (newborn)”
Breastmilk
Jaundice
Menyusui
(memberi Asi) bayi secara teratur dan dengan frekuensi yang tinggi (2/3 atau
lebih) dapat menyebabkan peningkatan unconjugated hyperbilirubinemia yang
memanjang hingga minggu ke dua dan ketiga kehidupan dan sering hingga minggu ke
8 -12 kehidupan. Berbeda dengan pemberian susu formula, rata-rata setengah dari
seluruh balita yang diberi ASI terlihat mengalami kuning dengan kadar ringan
hingga sedang di minggu ke dua kehidupan dan minggu selanjutnya. Memanjangnya
physiologic jaundice yang diakibatkan oleh menyusui ini dikenal sebagai
“breastmilk jaundice”. Mekanisme dari
breastmilk jaundice pada manusia belum diketahui. Hasil penelitian
menunjukan bahwa 2/3 dari transisional dan sampel air susu manusia yang matur
dapat meningkatkan kecepatan absorpsi unconjugated bilirubin oleh usus, dengan
asumsi karena substansi belum terindentifikasi dari Air susu manusia. Di lain
waktu, jaundice dan peningkatan serum unconjugated bilirubin menurun ke nilai
normal meskipun menyusui (pemberian ASI) terus berlanjut. Kecepatan kadar penurunan
berbeda antara bayi satu dan bayi lainnya.
Starvation
jaundice (kuning akibat kelaparan pada bayi)
Ini sangat
penting untuk mengenal bahwa tidak seluruh bayi menerima intake susu yang
optimal selama beberapa hari pertama kehidupan; dari seluruh bayi yang
diberikan asi esklusif di amerika sebanyak 10-18% bayi kehilangan berat badan sebanyak 10 %
dari berat badan awal (saat lahir). Tidak adanya intake kalori pada orang
dewasa normal, meskipun dalam periode yang pendek 24 jam dan dengan tingkat
hidrasi yang baik, mengakibatkan peninkatan kecil pada unconjugated
hyperbilirubinemia kira-kira 1-2mg/dl (17–34 mmol=L) diatas total serum normal
kosentasi bilirubin pada orang dewasa 1.5mg=dL (26 mmol=L). Pada bayi
(newborn), pengurangan intake kalori dibawah intake optimal usia, meskipun
tanpa kelaparan yang mutlak, mengakibatkan peningkatan yang besar pada
kosentrasi serum unconjugated bilirubin karena menyebabkan hambatan pada
metabolisme bilirubin dan transport bilirubin.
Dua penelitian
yang luas dikutip dalam laporan literatur bahwa ketika menyusui di atur secara
optimal tidak ada perbedaan pada kosentrasi bilirubin pada bayi yang diberikan
ASI dan pada bayi yang diberika susu formula selama 5 hari kehidupan; bagaimana
pun, mayoritas laporan menunjukan peningkatan kosentasi serum bilirubin dan
kehilangan berat badan yang besar pada bayi yang diberi ASI. Starvation
jaundice pada bayi lebih sering terlihat selama minggu pertama kehidupan ketika
pemberian ASI pertama dimulai (ketika masalah muncul seperti, produksi Asi
beluma ada, daya hisap bayi lemah, ibu mengalami stres, dll), tetapi dapat
terjadi di periode selanjutnya (28 hari pertama kehidupan) dan bisa berlanjut hingga
usia infant. Mekanisme dari starvation jaundice ditunjukan dengan meningkatkan
absorpsi usus terhadap unconjugated bilirubin. Setelah hari ke lima kehidupan,
kelaparan (starvation) selanjutkan meningkatkan kenaikan absorpsi bilirubin
normal pada bayi dengan ASI, sehingga dapat menyebabkan kadar bilirubin berada
pada tingkat racun.
Interaksi antara
stavation jaundice dan breastmilk jaundice
Buruknya menyususi menyebabkan tidak adekuatnya intake
kalori selama hari pertama kehidupan sehingga meningkatkan absorpsi bilirubin
oleh usus akibat kelaparan (starvation). Intake yang buruk juga memperlambat
pengeluaran mekonium, menyebabakan unconjugated bilirubin menumpuk di dalam
usus, dan meningkatkan transfer bilirubin dari mekonium kembali kesirkulasi
darah. Ini memperbesar sirkulasi bilirubin pada bayi, dan terlihat sebagai
peningkatan serum unconjugated bilirubin yang lebih tinggi dari normal. Bersama
kemunculan ASI yang matur pada akhir minggu pertama kehidupan, faktor yang
meningkatakan peyerapan bilirubin oleh usus akan mengembalikan bilirubin dalam
jumlah yang besar dari pada bilirubuin normal yang kembali ke sirkulasi. Ini
menyebabkan peningkatan serum unconjugated bilirubin yang abnormal pada minggu
kedua dan ketiga kehidupan, dengan potensi menjadi racun. Perhatian untuk
mengoptimalkan manajemen menyusui dapat memperingan perkembangan kosentrasi
serum bilirubin yang buruk pada bayi.
Kernicterus dan
bilirubin ensepalopati
Perhatian
mengenai unconjugated hyperbilirubinemia berada pada resiko jenis kerusakan
otak yang diketahui sebagai “Kernicterus” atau “bilirubin encephalopathy” yang
ditandai ketika peningkatan kadar unconjugated bilirubin melebihi kapasitas
daya ikat serum albumin dan bilirubin menembus sawar darah-otak untuk masuk
kedalam neuron di basal ganglia dan cerebelum.
Pedoman Treatmen
Hiperbilirubinemia untuk melindungi bayi dari bilirubin encephalopathy.
Tidak semua
peningkatan kadar unconjugated hyperbilirubinemia pada bayi menyususi (yang
mendapatkan ASI) dapat dicegah, tetapi dapat ditindak lanjut dengan menjamin
tidak terjadinya penurunan berat badan kelahiran dan dan berat badan yang
adequat pada bulan pertama. Penjaminan terhadap deteksi dan intervensi terhadap
kadar potensial racun serum bilirubin.
Tindakan yang direkomendasikan untuk menjaga kosentrasi serum bilirubin dalam
kadar normal, dalam rentang yang
aman sehingga dapat memelihara pemberian
ASI ekslusif.
1.Inisiasi Dini.
inisiasi
menyusui sesegara mungkin, lebi baik dilakukan pada jam pertama setelah
kelahiran.meskipun dengan bayi yang dilahirkan melalu sesar, menyususi dapat
dimulai pda satu jam pertama.
2. Dorong
pemberian ASI ekslusif
Tidak dibutuhkan
tes kemampuan infant untuk menelan atau mengindari aspirasi pada saat pemberian
ASI eklusif.Memberikan sesuatu yang lain selain ASI menghambat perilaku menyususi yang baik oleh
bayi dan menghambat produksi susu yang adekuat meningkatkan resiko kelaparan
dan keparahan hyperbilirubunemia.
3. Pada periode
menyusui tidak perlu diberikan tambahan apa pun seperti air, air gula, atau
susu formula.
4. Optimalkan
manajemen laktasi dari awal, meliputi posisi dan cara menyususi yang benar.
5. Ajarkan kepada ibu mengenai isyarat menyusui.
Ajarkan ibu
untuk berespon terhadap isyarat awal bayi lapar seperti mengecap-ngecap bibir,
tangan bergerak ke arah mulut, kegelisahan, dan bersuara. Bayi harus segera di
susui sebelum menangis. Menagis merupakan tanda lapar yang terlambat dan sering
menyebabkan awal episode menyususi yang buruk.
6. indentifikasi
faktor resiko ibu dan bayi
Riwayat ibu
(mis. diabetes, sensitif Rh) dan riwayat bayi (mis. memar, prematur, Penyakit
ABO ), faktor kesehatan dapat meningkatkan kemungkinan bayi mengalami
hyperbilirubinemia yang signifikan. Faktor tersebut dapat ditambah dengan
starvation jaundice dan=atau breastmilk jaundice. Ketika faktor resiko
terindentifikasi, bijak untuk mencari konsultasi laktasi pada jam awal setelah
melahirkan untuk menjamin manajemen lakatsi yang optimal. Pada kondisi
seperti bayi yang terus tidur, bayi
prematur, dan pemisahan rawat ibu dan bayi sangat bermanfaat untuk melakukan intervensi
seperti stimulasi manual atau stimulasi pompa pada payudara untuk
mengoptimalkan suplai ASI dan mencegah keterlamabatan aktivasi seketori
payudara (lactogenesis II).
Bayi premature
memiliki resiko yang lebih tinggi mengalai hiperbilirubinemia yang parah karena
memiliki resiko besar sulit menetek. Sering mengakibatkan starvation jaundice
dengan kombinasi kadarh bilirubin yang tinggi akibat telatnya maturasi
kapasitas hati untuk mengkonjugasi bilirubin. Jika bayi prematur (35-37 minggu)
dengan perilaku menetek yang buruk atau pertambahan berat badan yang tidak
adequat, harus dipetimbangkan untuk pemberian donor asi atau susu formula
setiap kali telah menyusui hingga berat badan bertambah untuk menghindari
starvation jaundice pada bayi.
Pilihan terapi
ketika kadar bilrubin tidak bisa dipertahankan dalam rentang normal.
a.Phototerapi,
dapat digunakan saat dalam program menyusui (asi eklusif), atau dapat
dikombinasi dengan produk suplemen susu lainnya atau penghentian sementara
menyusui dengan susu pengganti. Ketika kosentrasi serum bilirubin sudah melebihi level indikasi
fototterapi, khususnya ketika meningkat cepat, ini saat terbaik untuk mengawali
foterapi dan tidak hanya bertumpu pada produk suplemen susu lainnya atau
penghentian sementara menyusui saja karena akan lambat dalam menurunkan kadar
bilirubin. Fototerapi paling baik dilakukan di rumahsakit dan disatukan dengan
ibu atau diruang pediatrik dimana ibu dan bayi dapat tinggal bersama sehingga
kegiatan menyusui dapat dilanjutkan. Penghentian (penyelingan) pada saat
fototerapi untuk durasi 30 menit untuk mengizinkan menyusui tanpa kaca mata
tidak merubah keefektifan fototerapi. Meskipun fototerapi meningkatkan IWL
(insensible water loss) pada derajat tertentu, bayi yang berada dalam
intervensi fototerapi tidak membutuhkan pemberian cairan intavena. Pemberian
cairan intravena diindikasikan pada bayi dehidrasi, hiprnatremia, atau
ketidakmampuan netek. Pemberian cairan intravena tidak dianjurkan karena dapat
mengurangi rasa haus dan menurunkan intake oral.
b. Alternatif selain
fototerapi. fototerapi pada bayi dengan hiperbilirubinemia menyebabkan
pemisahan ibu-bayi dan juga berefek terhadap kesukesesan program menyusui. Ada
beberapa keraguan mengenai kadar hiperbilirubin yang tepat mengenai treatmen
hiperbilirubinemia yang dibenarkan, dan klinik harus menggunakan penilaian
ketika terapi spesifik hendak diambil meliputi seting tempat, faktorkesehatan
ibu dan bayi, resiko bayi mengalami hiperbilirubinemia yang parah, dan
kecenderungan keluarga. Ketika Total serum bilirubin mendekati ambang batas
treatmen APP (2–3mg=dL or 34–51 mmol=L ke bawah) dengan resiko. Suplementasu
atau penggantian menyusui dengan susu formula merupakan hal yang rasional
sebagai tambahan untuk ayau menggati fototerapi, jika ini dapat dilakukan dapat
mendukung kegiatan menyusui dan bayi dapat terus dipantau. Bayi harus dipantau
secara teliti untuk menjamin kadar bilirubin membaik dengan pemberian
suplementasi. Pengukuran bilirubin dapat dilakukan setiap 4-6 jam. Pototerapi
harus segera dilakukan jika serum bilirubin mencapai ambang batas APP
disesuaikan dengan faktor resiko dan usia bayi.
Sumber:
ABM Clinical Protocol 22: Guidelines for
Management of Jaundice in the Breastfeeding Infant Equal to or Greater Than 35
Weeks’ Gestation. BREASTFEEDING MEDICINE Volume 5, Number 2, 2010 ยช Mary
Ann Liebert, Inc. DOI: 10.1089=bfm.2010.9994
Neonatal Jaundice.
2010. NICE clinical guideline 98. Available
at :guidance.nice.org.uk
American Academy Of Pediatrics .Clinical Practice Guideline: Management
of Hyperbilirubinemia in the Newborn Infant > 35 Weeks of Gestation.Pediatrics
2004 (July);114:297
Comments
Post a Comment