Opioid Agonist (Analgesik)

Kata opioid merujuk pada derivat (senyawa kimia) dari tanaman Opium atau obat yang disintetis dari tanaman narkotik lain. Opioid Agonist meliputi derivat tanaman opium dan obat sintetis yang memiliki efek sama. Opioid Agonist  digunakan untuk mengurangi atau meredakan rasa nyeri tanpa menyebabkan seseorang kehilangan kesadaran. Beberapa Opioid Agonist juga memliki efek antitusif yang dapat menekan batuk dan antidiare yang dapat mengontrol diare. 

Tanaman Opium dengan bunga yang indah
Agonist: Merupakan senyawa kimia (substansi)  yang menstimulus aksi, karena mampu berikatan pada resesptor dan mengaktifkan reseptor untuk meghasilkan respon biologi. Agonist menyebabkan aksi (respon biologis) sedangan kebalikannya  antagonist memblok aksi. 
Obat yang termasuk golongan Opioid agonist:
• codeine
• fentanyl
• hydrocodone
• hydromorphone
• levorphanol
• meperidine
• methadone
• morphine sulfate 
• oxycodone
• oxymorphone
• propoxyphene
• remifentanil
• sufentanil.

Morphine sulfate Merupakan standar obat (standar emas nyeri)  yang digunakan untuk melawan nyeri dengan efektifitas yang baik dan efek samping yang lebih baik dibanding obat anti nyeri lainnya.

Farmakokinetik

Pemberian obat opioid dapat dilakukan dalam beberapa rute seperti oral yang dengan mudah dapat diserap oleh saluran pencernaan, rute intramuskular dan intratekal yang dapat mendistribusikan obat lebih cepat.  Opioid agonist di distribusikan secara luas keselurh jaringan tubuh. Memiliki kapasitas ikatan protein  plasama yang rendah (30%-35%). Secara luas obat dimetabolismekan di liver. Sebagai contoh, Meipidine di metabolismekan menjadi normepiridine, racun metabolit dengan paruh hidup setengah dari meperididne. Metabolit tersebut dapat terakumulasi pada pasien dengan gagal ginjal dan menyebabkan kejang (terakumulasi di otak). Pemberian meperidine lebih dari 48 jam meningkatakan resiko neurotoxicity dan seizure karena mulai terbentuk normeperidine. Setelah dimetabolismekan dihati Matabolit Opioid di ekresikan (keluarkan) oleh ginjal. Dan dalam jumlah kecil di ekresikan melalui saluran empedu dan dibuang melalui feses.
Farmakodinamik
Opioid agonis mengurangi nyeri dengan mengikat reseptor opiate (mu receptors and N-methyl-D-aspartate receptors) di sistem saraf perifer dan Saraf Pusat. Ketika obat menstimulasi reseptor opiate sama seperti endoprine ( opioid alami yang dimiliki tubuh), terjadi ikatan reseptor dan obat yang menghasilkan efek terapeutik Analgesia dan menekan batuk. dan juga menyebabkan efek samping seperti depresi sistem pernafasan dan konstipasi. 

Opioid agonis khususnya morphin, mempengaruhi otot halus pada saluran pencernaan dan saluran kemih dan reproduksi.Menyababkan kontraksi pada kandung kemih dan ureter, menyebabkan penurunan perstaltik usus sehingga meyebabkan konstipasi. 

Obat tersebut dapat menyebabkan dilatasi pembluh darah, khususnya diarea wajah, kepala, dan leher. Menekan pusat batuk di otak, menghasilkan efek antitusif dan menyebabkan kontriksi pada otot bronkus. Opioid dapat menyebabkan efek samping hipotensi karena pembuluh darah mengalami dilatasi. 

Farmakoterapeutik

Opioid agonis diresepkan untuk mengurangi nyeri berat pada pasien yang mengalami sakit akut, kronik, dan terminal. Dapat juga mengurangi cemas sebelum pasien menerima anastesi dan juga di resepkan untuk mengontrol diare dan menekan batuk.  Methadone digunakan sementara untuk menangani kecanduan narkotik. Opioid lain dan remifentanil digunakan untuk induksi dan memelihara efek anastesi umum. 

Morphine mengurangi nafas pendek pada pasien dengan edema pulmonal (cairan di dalam paru) dan gagal jantung kiri. Karena morphine dapat mendilatasi pembuluh darah, menjaga banyak darah didalam perifer, dan menurunkan cardiac preload.


Efek samping

1) Memperlambat kecepatan dan kedalaman nafas
2) Beresiko menjadi pencetus asma pada pasien yang rentan ( memiliki riwayat asma)
3)  Hipotenis Ortostatik
4) kontriksi pupil 
dan efek samping akibat meperidine meliputi: tremor, palpitasi, takikardi, delirium, dan kejang (seizure) 


Sumber :
dikutip dari. 
Lippincott Williams & Wilkins . 2009. Clinical Pharmacology Made Incredibly Easy.Wolters Kluwer: USA.


Comments